Selasa, 11 Februari 2014

CARA SEORANG GURU PENGAJAR YANG BAIK



             Dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, guru dipandang sebagai faktor  kunci. Pemerintah pun dalam enam tahun terakhir ini menaruh perhatian yang serius dalam upaya meningkatkan kualitas guru. Di  diantaranya melalui program sertifikasi dan pemberian tunjangan profesi bagi guru. Melalui UU nomer 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdikna), diperkuat dengan UU nomer 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen; guru pun ditasbihkan sebagai pekerjaan profesional,
Samuel P. Huntington, yang banyak membahas masalah profesionalisme menetapkan tiga kriteria untuk suatu pekerjaan disebut profesional. Di samping dituntut adanya tanggung jawab sosial (social responsibility), dan kesejawatan (corporateness), pekerjaan itu juga memerlukan keahlian (expertise). Menurut Huntington, keahlian adalah kemampuan untuk melakukan sesuatu pekerjaan tertentu yang agar  bisa menguasainya  seseorang harus menempuh pendidikan dan latihan khusus, dalam waktu yang relatif lama, dengan tingkat kesulitan yang  tinggi.  
Jadi secara ideal, tidak ada seorang pun bisa melakukan suatu pekerjaan profesional  kecuali yang telah menempuh pendidikan dan latihan sebagaimana tersebut di atas. Implikasinya setiap pekerjaan profesional selalu menimbulkan perasaan eksklusif  (sense of exclusifity) para pelakunya. Selanjutnya rasa eksklusif itu akan menjadi fondasi bagi terbangunnya pola hubungan kesejawatan di antara mereka dalam sebuah organisasi profesi. Orang-orang seprofesi saling berbagi dan memuta-akhirkan ilmu pengetahuan dalam lingkup pekerjaannya secara terus menerus,  serta menyepakati suatu kode etik yang harus dipatuhi oleh semua anggotanya.  Hal itulah yang terjadi dalam semua pekerjaan profesional yang dianggap sudah mapan seperti  halnya dokter ataupun tentara.
Lantas, bagaimanakah halnya pekerjaan guru?. Benarkah guru itu pekerjaan yang tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang?. Benarkah untuk mampu menjadi guru terlebih dahulu harus menempuh pendidikan dan latihan khusus, lama dan sulit?. Dalam kenyataan saat ini banyak orang dewasa dengan pendidikan seadanya dapat berperan menjadi guru dan tidak dianggap guru palsu. Bandingkan dengan bila seorang awam membuka praktek dokter, ia akan disebut dokter gadungan dan bisa dituntut secara pidana.
Maksud bandingan di atas adalah untuk menyatakan betapa guru sebagai pekerjaan sekarang ini sangat terbuka untuk siapa saja. Kalau ingin menjadikan guru sebagai pekerjaan profesional, pertama adalah harus mengangkat  dan menjaga martabat pekerjaan guru dengan mengeksklusifkan pekerjaan itu. Membuat ketentuan hukum dan rambu kebijakan yang  ketat  yang tidak membiarkan pekerjaan guru itu bisa dimasuki oleh barang siapa saja. Karena semua pekerjaan profesional pasti menuntut adanya perlindungan atas hak-hak eksklusifitasnya.  

Bukan Pekerjaan Upahan
Konon profesi adalah berakar dari tradisi gereja. Berasal dari kata professio,   yang artinya semacam ikrar yang dilakukan oleh para calon biarawan dan biarawati sebelum melaksanakan pekerjaan pelayanan kepada umat. Intinya, mereka berikrar akan menyerahkan seluruh hidupnya untuk mencintai pekerjaannya itu, dan mengabdikan manfaat pekerjaan itu untuk kepentingan kemanusiaan. Oleh sebab itu, seorang yang memilih suatu profesi, syarat dan alasannya harus oleh karena panggilan jiwa bukan karena ingin mendapat  bayaran. Memang seorang profesional perlu mendapatkan jaminan hidup layak agar dapat mengabdikan diri sepenuhnya pada pekerjaannya itu, akan tetapi hal itu ia terima bukan sebagai bayaran melainkan sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan. Mereka tidak diupah tetapi mendapat honorarium.   
Huntington mencatat bahwa sejak pertengahan abad dua puluh terjadi kemerosotan makna profesi. Arti profesi bergeser menjadi  pekerjaan yang mendapat bayaran tinggi sebagai lawan dari pekerjaan amatir.  Lama kelamaan, justru faktor bayaran  tinggi lah yang menjadi keriteria baru sedang kriteria lama yang telah menjadikan pekerjaan profesional itu sedemikian mulia dan agung kian diabaikan, misalnya dalam hal keharusan adanya tanggung jawab sosial.  Bahkan profesi sudah mengandung arti pejorative: pembunuh bayaran disebut pembunuh profesional, PSK yang diupah mahal disebut pelacur profesional.
 Jika ditilik dari idealisme pekerjaan profesional, adalah kurang tepat jikalau penaikan gaji  guru dipandang sebagai cara untuk mengangkat status guru menjadi pekerjaan profesional. Justru dengan kenaikan pendapatan guru yang luar biasa  bisa memicu banyaknya peminat menjadi guru bukan lantaran motivasi intrinsik, yaitu panggilan jiwa   dan kecintaan terhadap pekerjaan guru, akan tetapi lebih karena motivasi ekstrinsik yang artifisial, karena pekerjaan guru secara ekonomis  cukup menggiurkan.

Sertifikasi Porto Folio
Jumlah guru di Indonesia,  berdasarkan catatan Ditjen Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (PMPTK), Kemendiknas;  per Nopember 2010 adalah 2.791.204 orang.  Sejak tahun 2006 pemerintah melakukan program sertifikasi guru melalui porto folio. Dilaksanakan oleh beberapa perguruan tinggi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Sampai tahun 2010  telah ada  753.155 guru bersertifikat.  Meski sudah sangat massif, namun angka tersebut baru setara dengan  27 persen dari jumlah guru. Itupun sebetulnya guru yang memperoleh sertifikat secara substanstif tidak dengan sendirinya lantas menjadi profesional. Beda dengan sertifikasi portofolio untuk mendapat Surat Tanda Registrasi (STR) bagi para dokter. Karena sebelum disertifikasi para dokter memang sudah mendapatkan pendidikan profesi. Sedang  program sertifikasi guru tampaknya lebih berfungsi sebagai alat legitimasi bagi yang bersangkutan untuk memperoleh tunjangan profesi guru.
Apabila seluruh guru akan berstatus sebagai pekerja profesional maka  di Indonesia ini  ada profesi yang jumlah angggotanya luar biasa banyak. Bandingkan dengan dokter yang hingga Oktobber 2010,  yang teregistrasi oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) hanya mencapai 114.7706 orang.  Atau dengan TNI yang menurut  sumber di Mabes TNI,   hingga Desember  2010  jumlahnya sebanyak 414.657 personnel.  Dari jumlah tersebut dari golongan perwira hanya 54.108 saja.  
Kalau menjadikan pekerjaan militer sebagai bandingan, di sana ada tingkatan-tingkatan profesionalitas.  Ada  golongan  tamtama, bintara dan perwira. Apabila merujuk pendapat Harrold D Lasswell maka hanya golongan perwira lah yang  sepenuhnya bisa disebut profesional, yaitu sebagai spesialis dalam pengelolaan kekerasan (spesialized in the management of violence).  Sedang tamtama dan bintara adalah tergolong terampil dan mahir dalam menggunakan alat kekerasan,  kendatipun di dalam UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI, dinyatakan bahwa TNI adalah tentara profesional.
Mengambil nisbat yang ada dalam pekerjaan militer,  maka di dalam pekerjaan guru perlu dipertimbangkan kemungkinan membuat tingkatan-tingkatan profesionalitasnya. Hanya guru yang mumpuni dengan unjuk kerja yang  sangat baik saja yang mestinya bisa mencapai derajat profesional.  Namun apabila pemerintah tetap bermaksud memprofesionalkan seluruh guru, berarti ada pekerjaan  besar dan berat. Di samping masalah jumlahnya yang begitu besar  juga masalah kualitas lembaga yang bakal menyelenggarkan program pendidikan profesi yaitu LPTK. Dari 362 LPTK yang ada,  kualitasnya sangat beragam, dan sebarannya sangat tidak merata.  Runyamnya, kemungkinan hanya sedikit LPTK yang betul-betul layak menyelenggarakan Pendidikan Profesi Guru (PPG).  Sehingga kalau program profesionalisasi massif itu tetap dilakukan yang terjadi pasti praktek kejar target sebagaimana yang terjadi pada program sertifikasi lewat porto folio selama ini yang dinilai banyak pihak memiliki banyak kelemahan.
                Tak kurang Wakil Mendiknas, Prof. Fasli Jalal dalam  seminar “Re-Desain Pendidikan Profesional Guru”,  18 Desember yang lalu menyampaikan rasa herannya atas capaian program seritifikasi melaui porto folio. Katanya,   seharusnya yang lulus melalui porto folio tidak lebih dari 20%. Hanya yang benar-benar guru mumpuni yang mestinya lolos. Sedang yang sebagian besar harus lewat program Pendidikan dan Latihan  Profesi Guru ( PLPG). Walaupun lewat program ini sebetulnya juga tidak banyak yang bisa di dapat oleh peserta mengingat waktu pelaksanaanya yang hanya sembilan hari.
                Memang kebijakan adalah soal pilihan. Ketika orientasi pilihannya jatuh pada  kuantitas yang massif  demi mengejar target dan terserapnya anggaran maka aspek kualitas bisa saja terabaikan. Akan tetapi dalam masalah profesionalisasi guru apakah kita akan tetap bilang: “Lanjutkan...!” ?.

                                                        *) Muhadjir Effendy, Rektor Univ. Muhammadiyah Malang

Tidak ada komentar: