Dalam upaya
meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, guru dipandang sebagai faktor kunci. Pemerintah pun dalam enam tahun
terakhir ini menaruh perhatian yang serius dalam upaya meningkatkan kualitas
guru. Di diantaranya melalui program sertifikasi
dan pemberian tunjangan profesi bagi guru. Melalui UU nomer 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdikna), diperkuat dengan UU nomer 14
tahun 2005 tentang Guru dan Dosen; guru pun ditasbihkan sebagai pekerjaan
profesional,
Samuel P. Huntington, yang banyak membahas masalah profesionalisme
menetapkan tiga kriteria untuk suatu pekerjaan disebut profesional. Di samping dituntut
adanya tanggung jawab sosial (social
responsibility), dan kesejawatan (corporateness),
pekerjaan itu juga memerlukan keahlian (expertise).
Menurut Huntington, keahlian adalah kemampuan untuk melakukan sesuatu pekerjaan
tertentu yang agar bisa menguasainya seseorang harus menempuh pendidikan dan
latihan khusus, dalam waktu yang relatif lama, dengan tingkat kesulitan yang tinggi.
Jadi secara ideal, tidak ada seorang pun bisa melakukan
suatu pekerjaan profesional kecuali yang
telah menempuh pendidikan dan latihan sebagaimana tersebut di atas. Implikasinya
setiap pekerjaan profesional selalu menimbulkan perasaan eksklusif (sense
of exclusifity) para pelakunya. Selanjutnya rasa eksklusif itu akan menjadi
fondasi bagi terbangunnya pola hubungan kesejawatan di antara mereka dalam sebuah
organisasi profesi. Orang-orang seprofesi saling berbagi dan memuta-akhirkan
ilmu pengetahuan dalam lingkup pekerjaannya secara terus menerus, serta menyepakati suatu kode etik yang harus
dipatuhi oleh semua anggotanya. Hal
itulah yang terjadi dalam semua pekerjaan profesional yang dianggap sudah mapan
seperti halnya dokter ataupun tentara.
Lantas, bagaimanakah halnya pekerjaan guru?. Benarkah
guru itu pekerjaan yang tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang?. Benarkah untuk
mampu menjadi guru terlebih dahulu harus menempuh pendidikan dan latihan khusus,
lama dan sulit?. Dalam kenyataan saat ini banyak orang dewasa dengan pendidikan
seadanya dapat berperan menjadi guru dan tidak dianggap guru palsu. Bandingkan
dengan bila seorang awam membuka praktek dokter, ia akan disebut dokter gadungan
dan bisa dituntut secara pidana.
Maksud bandingan di atas adalah untuk menyatakan betapa
guru sebagai pekerjaan sekarang ini sangat terbuka untuk siapa saja. Kalau
ingin menjadikan guru sebagai pekerjaan profesional, pertama adalah harus mengangkat
dan menjaga martabat pekerjaan guru
dengan mengeksklusifkan pekerjaan itu. Membuat ketentuan hukum dan rambu
kebijakan yang ketat yang tidak membiarkan pekerjaan guru itu bisa
dimasuki oleh barang siapa saja. Karena semua pekerjaan profesional pasti menuntut
adanya perlindungan atas hak-hak eksklusifitasnya.
Bukan
Pekerjaan Upahan
Konon profesi adalah berakar dari tradisi gereja. Berasal
dari kata professio, yang artinya semacam ikrar yang dilakukan
oleh para calon biarawan dan biarawati sebelum melaksanakan pekerjaan pelayanan
kepada umat. Intinya, mereka berikrar akan menyerahkan seluruh hidupnya untuk
mencintai pekerjaannya itu, dan mengabdikan manfaat pekerjaan itu untuk kepentingan
kemanusiaan. Oleh sebab itu, seorang yang memilih suatu profesi, syarat dan
alasannya harus oleh karena panggilan jiwa bukan karena ingin mendapat bayaran. Memang seorang profesional perlu
mendapatkan jaminan hidup layak agar dapat mengabdikan diri sepenuhnya pada
pekerjaannya itu, akan tetapi hal itu ia terima bukan sebagai bayaran melainkan
sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan. Mereka tidak diupah tetapi mendapat
honorarium.
Huntington mencatat bahwa sejak pertengahan abad dua
puluh terjadi kemerosotan makna profesi. Arti profesi bergeser menjadi pekerjaan yang mendapat bayaran tinggi sebagai
lawan dari pekerjaan amatir. Lama
kelamaan, justru faktor bayaran tinggi
lah yang menjadi keriteria baru sedang kriteria lama yang telah menjadikan
pekerjaan profesional itu sedemikian mulia dan agung kian diabaikan, misalnya dalam
hal keharusan adanya tanggung jawab sosial. Bahkan profesi sudah mengandung arti pejorative: pembunuh bayaran disebut
pembunuh profesional, PSK yang diupah mahal disebut pelacur profesional.
Jika ditilik dari
idealisme pekerjaan profesional, adalah kurang tepat jikalau penaikan gaji guru dipandang sebagai cara untuk mengangkat
status guru menjadi pekerjaan profesional. Justru dengan kenaikan pendapatan
guru yang luar biasa bisa memicu
banyaknya peminat menjadi guru bukan lantaran motivasi intrinsik, yaitu
panggilan jiwa dan kecintaan terhadap pekerjaan guru, akan
tetapi lebih karena motivasi ekstrinsik yang artifisial, karena pekerjaan guru secara
ekonomis cukup menggiurkan.
Sertifikasi
Porto Folio
Jumlah guru di Indonesia, berdasarkan catatan Ditjen Peningkatan Mutu
Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (PMPTK), Kemendiknas; per Nopember 2010 adalah 2.791.204 orang. Sejak tahun 2006 pemerintah melakukan program
sertifikasi guru melalui porto folio. Dilaksanakan oleh beberapa perguruan
tinggi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Sampai tahun 2010 telah ada 753.155 guru bersertifikat. Meski sudah sangat massif, namun angka
tersebut baru setara dengan 27 persen
dari jumlah guru. Itupun sebetulnya guru yang memperoleh sertifikat secara
substanstif tidak dengan sendirinya lantas menjadi profesional. Beda dengan
sertifikasi portofolio untuk mendapat Surat Tanda Registrasi (STR) bagi para
dokter. Karena sebelum disertifikasi para dokter memang sudah mendapatkan
pendidikan profesi. Sedang program
sertifikasi guru tampaknya lebih berfungsi sebagai alat legitimasi bagi yang
bersangkutan untuk memperoleh tunjangan profesi guru.
Apabila seluruh guru akan berstatus sebagai pekerja
profesional maka di Indonesia ini ada profesi yang jumlah angggotanya luar biasa
banyak. Bandingkan dengan dokter yang hingga Oktobber 2010, yang teregistrasi oleh Konsil Kedokteran Indonesia
(KKI) hanya mencapai 114.7706 orang. Atau
dengan TNI yang menurut sumber di Mabes
TNI, hingga Desember 2010 jumlahnya sebanyak 414.657 personnel. Dari jumlah tersebut dari golongan perwira
hanya 54.108 saja.
Kalau menjadikan pekerjaan militer sebagai bandingan, di
sana ada tingkatan-tingkatan profesionalitas. Ada golongan
tamtama, bintara dan perwira. Apabila
merujuk pendapat Harrold D Lasswell maka hanya golongan perwira lah yang sepenuhnya bisa disebut profesional, yaitu
sebagai spesialis dalam pengelolaan kekerasan (spesialized in the management of violence). Sedang tamtama dan bintara adalah tergolong terampil
dan mahir dalam menggunakan alat kekerasan, kendatipun di dalam UU No. 34 tahun 2004 tentang
TNI, dinyatakan bahwa TNI adalah tentara profesional.
Mengambil nisbat yang ada dalam pekerjaan militer, maka di dalam pekerjaan guru perlu
dipertimbangkan kemungkinan membuat tingkatan-tingkatan profesionalitasnya. Hanya
guru yang mumpuni dengan unjuk kerja yang sangat baik saja yang mestinya bisa mencapai
derajat profesional. Namun apabila
pemerintah tetap bermaksud memprofesionalkan seluruh guru, berarti ada
pekerjaan besar dan berat. Di samping
masalah jumlahnya yang begitu besar juga
masalah kualitas lembaga yang bakal menyelenggarkan program pendidikan profesi
yaitu LPTK. Dari 362 LPTK yang ada, kualitasnya
sangat beragam, dan sebarannya sangat tidak merata. Runyamnya, kemungkinan hanya sedikit LPTK yang
betul-betul layak menyelenggarakan Pendidikan Profesi Guru (PPG). Sehingga kalau program profesionalisasi
massif itu tetap dilakukan yang terjadi pasti praktek kejar target sebagaimana
yang terjadi pada program sertifikasi lewat porto folio selama ini yang dinilai
banyak pihak memiliki banyak kelemahan.
Tak
kurang Wakil Mendiknas, Prof. Fasli Jalal dalam
seminar “Re-Desain Pendidikan Profesional Guru”, 18 Desember yang lalu menyampaikan rasa
herannya atas capaian program seritifikasi melaui porto folio. Katanya, seharusnya yang lulus melalui porto folio tidak
lebih dari 20%. Hanya yang benar-benar guru mumpuni yang mestinya lolos. Sedang
yang sebagian besar harus lewat program Pendidikan dan Latihan Profesi Guru ( PLPG). Walaupun lewat program
ini sebetulnya juga tidak banyak yang bisa di dapat oleh peserta mengingat
waktu pelaksanaanya yang hanya sembilan hari.
Memang
kebijakan adalah soal pilihan. Ketika orientasi pilihannya jatuh pada kuantitas yang massif demi mengejar target dan terserapnya anggaran
maka aspek kualitas bisa saja terabaikan. Akan tetapi dalam masalah
profesionalisasi guru apakah kita akan tetap bilang: “Lanjutkan...!” ?.
*)
Muhadjir Effendy, Rektor Univ. Muhammadiyah Malang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar